Banyak orang berpikir, tinggal di daerah terpencil di lereng
pegunungan dengan akses transportasi dan komunikasi yang terbatas
mengurangi kreativitas dan mendorong perilaku berpikir yang statis.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi Sulastri, perempuan dari Pegunungan
Wilis di lereng Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa
Timur. Sulastri berhasil menunjukkan kepada dunia mengenai ide-idenya
yang inovatif dalam gerakan penyadaran masyarakat di pelbagai bidang
kehidupan. Ide-idenya bisa menggerakkan ekonomi rakyat demi mengangkat
derajat kehidupan mereka. Padahal, dia tidak pernah mengenyam bangku
kuliah. "Kuncinya hanya belajar dan terus belajar. Tidak boleh malu
sekalipun harus bertanya kepada yang lebih muda," ujar Kepala Desa Joho
itu. Dia berhasil mengentaskan warganya dari kantong kemiskinan.
Desa
Joho yang terletak 1.000 meter di atas permukaan laut adalah daerah
gersang dan tandus pada musim kemarau. Tanaman pangan dan hortikultura
hanya tumbuh satu musim dalam setahun. Praktis, ekonomi pertanian yang
menopang hajat hidup mayoritas penduduk tidak berjalan normal. Hasil
pertanian berupa jagung, ketela, dan kadang juga padi hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan perut warga sehari-sehari. Adapun kebutuhan
sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, terpaksa dikorbankan.
Seperti lazimnya desa tertinggal, angka kemiskinan tinggi, angka putus
sekolah tinggi, derajat kesehatan rendah. Dari 3.242 jiwa penduduk
desa, sepertiganya masuk dalam kategori penduduk sangat miskin. Kondisi
kaum perempuannya sangat menyedihkan. Mereka hanya berkutat di sumur,
dapur, dan kasur. Kalaupun ada yang sedikit lebih maju, itu karena
mereka menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri.
Pulang kampung
Kisah perjuangan
Sulastri dimulai saat ia memutuskan pulang ke kampung orangtuanya di
Desa Joho, tahun 2000. Dia lahir dan besar di Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah, kampung para transmigran asal Jawa. Saat itu, kondisi Sulastri
tidak lebih baik dibandingkan sebagian besar perempuan di desanya,
meskipun ia sempat mengenyam Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 2
Kediri. Setelah menikah dengan Mulyono dan dikaruniai seorang anak, ia
menjadi ibu rumah tangga biasa. Apalagi, sebagai anak bungsu dari tiga
bersaudara, Sulastri harus mengurus orangtuanya. Untuk menopang ekonomi
keluarga, ia membuka toko kelontong di rumahnya. Suaminya hanya sopir
angkutan.
Pada tahun 2003, sekelompok mahasiswa Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Kediri melakukan kuliah kerja nyata di
desanya. Mereka meninggalkan "pekerjaan" baru bagi Sulastri untuk
meneruskan mengajar di Taman Pendidikan Al Quran rintisan mahasiswa.
"Kelihatannya sederhana, tetapi praktiknya tidak mudah. Jangankan
mengajar, punya pengetahuan saja tidak," katanya. Melihat ironi
kehidupan di depan matanya, Sulastri berinisiatif datang ke kampus dan
meminta mahasiswa mengajari ibu-ibu menjadi tutor. Sejak saat itu, ia
mulai menghimpun kaum perempuan di desanya berkumpul sekadar berbagi
cerita dan informasi.
Cerita dari
perempuan-perempuan desanya membuat hati Sulastri semakin trenyuh. Dia
pun mendirikan Paguyuban Perempuan Sido Rukun hanya dengan berbekal
niat dan semangat. Demi memajukan paguyuban, ia nekat datang ke kampus
dan meminta bantuan hewan ternak untuk dipelihara dengan harapan dapat
menambah penghasilan masyarakat. "Ketika itu kami diberi uang Rp
500.000 yang hanya cukup membeli dua ekor kambing kacang (atau kambing
sayur, kambing berkualitas paling rendah)," ujarnya.Induk kambing
kemudian dipelihara bergantian. Anaknya diambil sebagai upah
pemelihara. Jika anaknya lebih dari satu, anak yang lain dibagikan
kepada keluarga yang membutuhkan.
Meskipun sukses dengan usaha kambingnya, Sulastri
masih merasa ada yang mengganjal di hatinya. Itu karena ia masih
melihat ibu-ibu itu tak punya kegiatan alias menganggur. Dia lalu
mengajak mereka membuat usaha keripik buah pisang, talas, dan sukun.
Sulastri sendiri yang memasarkannya ke Kota Kediri, sekitar 20
kilometer dari desanya. Ide pembuatan keripik didasari murahnya harga
hasil bumi. Setandan pisang raja nangka, misalnya, hanya Rp 1.500 sampai
Rp 2.000. Padahal, setelah diolah menjadi keripik, setandan pisang itu
bisa menghasilkan Rp 60.000. Harga talas dan sukun malah lebih rendah
lagi.
Koperasi
Paguyuban kemudian
mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Sido Makmur. Modalnya berasal dari
iuran pokok anggota Rp 25.000 dan iuran wajib Rp 5.000 per bulan. Kini
koperasi itu bisa meminjamkan Rp 2 juta kepada para anggotanya. Padahal,
awalnya pinjaman maksimal cuma Rp 50.000. "Sebelum ada koperasi, warga
pinjam ke rentenir. Bayarnya setelah panen. Kalau gagal panen, utang
menumpuk karena bunganya tinggi," katanya.
Berkat pinjaman koperasi, masyarakat bisa membuka
usaha baru atau mengembangkan usaha yang sudah berjalan. Kini, tercatat
30 usaha budidaya lebah madu berkembang di Joho.Itu pun juga tidak
lepas dari usaha Sulastri meminta bantuan Dinas Kehutanan Kabupaten
Kediri memberikan penyuluhan tentang ternak madu dan modal awal dua
kotak sarang lebah.Yang tidak kalah penting, bangkitnya industri rumah
tangga pembuatan "kutang (beha) tradisional". Sedikitnya ada tiga
perajin dengan produksi ratusan buah beha per minggu.Perempuan yang
tengah hamil muda anak keduanya itu juga gencar mempromosikan produk
usaha kecil dari desanya di setiap kesempatan, terutama ketika bertemu
masyarakat dari luar.
Dalam tiga tahun terakhir, penduduk miskin di Desa
Joho berkurang 359 keluarga. Kini hanya 600 rumah tangga. Hasil
pendataan Badan Pusat Statistik, rumah tangga miskin yang berhak
menerima beras miskin tahun 2010, tinggal 507 keluarga. Kini Sulastri
mulai bergerak ke sektor lain. Misalnya, mengembangkan kesenian musik
tradisional dengan alat lesung dan alu, alat menumbuk padi pada zaman
dahulu. Kesenian ini tampil pada acara-acara penyambutan tamu. Namun,
tak jarang juga mereka diundang di perhelatan, seperti pameran
kerajinan, acara wisuda sarjana, dan momen penting lainnya.
Sulastri terus bergerak. Dia berjanji akan
mengawal pendidikan di desanya agar generasi muda yang lahir menjadi
manusia yang lebih unggul dan andal, tidak hanya sekadar menjadi TKI.
Dia juga berencana merintis kembali usaha pembuatan sirup berbahan
tanaman rosela. Dia seperti memberikan pencerahan bahwa bicara saja
tidak cukup. Bukti dengan kerja keras lebih dibutuhkan negeri ini.
sumber : Runik Sri Astuti/kompas